MATERI BAHASA INDONESIA TENTANG NOVEL
Novel adalah karangan prosa yang lebih panjang dari cerita pendek
dan menceritakan kehidupan seseorang dengan lebih mendalam dengan
menggunakan bahasa sehari-hari serta banyak membahas aspek kehidupan manusia.
Hal ini mengacu pada pendapat Santoso dan Wahyuningtyas (2010: 46), yang
menjelaskan, "Kata novel berasal dari bahasa latin novellas,
yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam
bahasa inggis. Karena novel adalah bentuk karya sastra yang datang dari karya
sastra lainnya seperti puisi dan drama. Ada juga yang mengatakan bahwa novel
berasal dari bahasa Italia novella yang artinya sama dengan
bahasa latin. Novel juga diartikan sebagai suatu karangan atau karya sastra
yang lebih pendek daripada roman, tetapi jauh lebih panjang daripada cerita
pendek, yang isinya hanya mengungkapkan suatu kejadian yang penting, menarik
dari kehidupan seseorang (dari suatu episode kehidupan seseorang) secara
singkat dan yang pokok-pokok saja. Juga perwatakan pelaku-pelakunya digambarkan
secara garis besar saja, tidak sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya. Dan
kejadian yang digambarkan itu mengandung suatu konflik jiwa yang mengakibatkan
adanya perubahan nasib".
Sedangkan menurut Sumarjo (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2010
: 47), “Novel” diartikan sebagai “Novel adalah produk masyarakat. Novel berada
dimasyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan
desakan-desakan emosional atau rasional dalam masyarakat”. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 1996 (dalam Siswanto 2008
:141), “Novel” diartikan sebagai "Karangan prosa yang panjang, mengandung
rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang
disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Masalah yang
dibahas tidak sekompleks roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa
tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun
demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema,
plot, latar, gaya bahasa, nilai tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang
ditekankan aspek tertentu dari unsur intrinsik tersebut".
SEGALA HAL TENTANG NOVEL
Pengertian Novel
Sebutan novel dalam bahasa inggris berasal dari
bahasa Itali novella,
dalam bahasa Jerman novelle berarti sebuah barang baru yang kecil,
dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini
istilah novelladan novelle mengandung pengertian yang sama dengan
istilah Indonesia novelet ( Inggris : novelette ) yang berarti sebuah karya prosa
fiksi yang tidak terlalu panjang namun juga tidak terlalu pendek.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling
populer di dunia. Bentuk sastra ini paling beredar, karena daya komunikasinya
yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua
golongan yaitu sastra serius dan sastra hiburan bisa disebut sebagai karya
sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut menjadi karya yang
indah, menarik dan juga memberikan hiburan kepada pembacanya, tetapi
lebih dari itu. Syarat utama novel adalah harus menarik, menghibur dan
mendatangkan rasa puas setelah orang selesai membacanya.
Novel yang baik adalah novel hiburan hanya dibaca
untuk kepentingan santai saja, yang penting memberikan keasyikan pada
pembacanya untuk menyelesaikannya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa novel serius
punya fungsi sosial, sedangkan novel hiburan hanya berfungsi personal. Novel
berfungsi sosial karena novel yang baik ikut membina orang tua, masyarakat menjadi
manusia. Sedangkan novel hiburan tidak memperdulikan apakah cerita yang
dihidangkan tidak membina manusia yang terpenting bahwa novel tersebut memikat
orang untuk segera membacanya.
Banyak sastrawan yang memberi batasan atau definisi
novel. Batasan atau definisi yang mereka berikan berbeda – beda karena sudut
pandang yang mereka pergunakan juga berbeda – beda karena sudut pandang yang
mereka pergunakan juga berbeda – beda. Definisi – definisi itu antara lain
adalah sebagai berikut :
Novel adalah bentuk sastra yang paling populer di
dunia. Bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling banyak beredar,
lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat (Jakob Sumardjo Drs)
Novel adalah bentuk karya sastra yang didalamnya
terdapat nilai-nilai budaya, sosial, moral, dan pendidikan ( Dr. Nurhadi, Dr.
Dawud, Dra. Yuni Pratiwi, M.Pd, Dra. Abdul Roni, M.Pd )
Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua
unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik, dan keduanya saling
berhubungan karena sangat berpengaruh dalam kehadiran sebuah karya sastra (
Drs. Rostamaji, M.Pd, Agus Priantoro, S.Pd )
Novel adalah karya sastra yang berbentuk prosa yang
mempunyai unsur-unsur intrinsik ( Paulus Tukam, S.Pd )
Unsur – Unsur Novel
Novel mempunyai unsur-unsur yang turut membangun
novel menjadi cerita yang menarik, unsur tersebut dibagi menjadi 2 ( dua )
yaitu (1) unsur intrinsik dan (2) unsur ekstrinsik.
A. Unsur Instrinsik
Unsur instrinsik dalam sebuah novel terdiri dari :
1. Tema
Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks. Sebagai unsur semantris
dan yang menyangkut persamaan – persamaan dan perbedaan – perbedaan ( Hartoko
dan Rahmanto, 1986 : 142 ). Tema disaring dari motif – motif yang terdapat dalam
karya yang bersangkutan yang menentukan hadirnya peristiwa – peristiwa, konflik
dan situasi tertentu. Tema dalam banyak hal bersifat mengikat kehadiran dan
ketidakhadiran peristiwa, konflik, situasi tertentu, termasuk berbagai unsur
intrinsik yang lain, karena hal – hal tersebut haruslah bersifat mendukung
kejelasan tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar pengembangan seluruh
cerita, maka ia pun bersifat menjiwai selurh bagian cerita itu.
Tema mempunyai generalisasi yang umum, lebih luas dan abstrak.
2. Setting / latar
Latar / setting yang disebut juga sebagai landas
tumpu menyarankan pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial
tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan ( Abrams, 1981 : 175 ).
Senada dengan pendapat diatas menyatakan bahwa
setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita. Setting
ini meliputi waktu, tempat, sosial budaya, ( Drs. Rustamaji, M.Pd., Agus
Priantoro, S.Pd ). Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas.
Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca. Menciptakan
suasana tertentu yang seolah – olah sungguh – sungguh ada dan terjadi.
Latar dapat dibedakan tiga unsur pokok yaitu :
(1) Latar tempat
Latar tempat menyusun pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
(2) Latar waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan”
terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
(3) Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan
dalam karya sastra.
3. Penokohan
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang diotampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan mencakup
masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran
yang jelas kepada pembaca.
Berdasarkan perbedaan sulit pandang dan tinjauan,
seorang tokoh dapat dikategorikanm ke dalam beberapa jenis, yaitu:
(1) Tokoh utama
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.
(2) Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi yang
merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita.
(3) Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis merupakan tokoh penyebab terjadinya
konflik dalam sebuah cerita.
(4) Tokoh sederhana
Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas peribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.
(5) Tokoh bulat (
kompleks )
Tokoh bulat ( kompleks ) adalah tokoh yang memiliki
dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati
dirinya.
(6) Tokoh Statis
Tokoh Statis memiliki sikap dan watak yang relatif
tetap , tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita.
(7) Tokoh Berkembang
Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami
perubahan dan berkembang perwatakan sejalan dengan perkembangan serta perubahan
peristiwa dan plot yang dikisahkan.
(8) Tokoh Tipikal
Tokoh Tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan
kualitas pekerjaan atau kebangsaan. Tokoh ini merupakan penggambaran
pencerminan atau penunjukkan terhadap orang atau sekelompok orang yang terikat
dalam sebuah lembaga, atau seorang individu sebagai bagian dari lembaga yang
ada di dunia nyata.
(9) Tokoh Netral
Tokoh Netral adalah tokoh cerita yang bereksistensi
demi cerita itu sendiri. Ia benar – benar merupakan tokoh imajiner, yang hanya
hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi, Ia hadir semata – mata demi cerita,
atau bahkan dialah yang empunya cerita, pelaku cerita dan diceritakan.
(10) Tokoh Tambahan
Tokoh lain dalam cerita selain tokoh utama.
4. Alur / Plot
Alur / Plot merupakan rangkaian peristiwa dalam
novel. Alur dibedakan menjadi 2 (dua) bagian yaitu pertama alur maju ( progesif
) yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan
kronologis menuju alur cerita. Sedangkan yang kedua alur mundur ( flash back
progesif ) yaitu terjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang
berlangsung. Plot / alur menampilkan kejadian – kejadian yang mengandung
konflik maupun menarik bahkan mencekam pembaca.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang ( point
of view ) merupakan
strategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu :
1) Sudut Pandang orang
pertama : “ Aku “
Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh dan kata
ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan
mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata – katanya sendiri.
2) Sudut Pandang orang
ketiga : “ Dia “
Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia
lebih banyak mengamati dari luar daripada terlibat di dalam cerita, pengarang
biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.
3) Sudut pandang
campuran
Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia
sama sekali berdiri di luar cerita, Ia serba melihat, serba mendengar dan serba
tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan
rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.
B. Unsur Ekstrinsik
Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan,
sejarah, biografi pengarang dan lain – lain diluar unsur intrinsik. Unsur
ekstrinsik yaitu unsur – unsur yang ada di luar tubuh karya sastra. Perhatian
terhadap unsur-unsur ini akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu
karya sastra.
Unsur-unsur Karya Sastra
1. Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan (Panuti Sudjiman, 1988:16).
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu karya sastra yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye dalam Panuti Sudjiman (1966:25).
Penokohan dalam cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis tokoh, kualitas tokoh, bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut jenisnya ada tokoh utama dan tokoh bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang aktif pada setiap peristiwa, sedangkan tokoh utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17).
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang berbentuk datar dan tokoh yang berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah tokoh yang tidak memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh yang memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan lingkungan peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar itu pada dasarnya sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk built disebut tokoh psikologis. Dengan demikian tokoh tipologis juga berarti tokoh yang tidak banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau tidak mengalami konflik psikis, karena sudah mempunyai personalitas yang mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah tokoh yang tidak memiliki persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis (Kuntowijaya dalam Pradopo dkk, 11984:91).
Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan cara analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang langsung memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang dramatik, karakter tokohnya tidak digambarkan secara langsung, melainkan disampaikan melalui; (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog (Atar Semi, 1984:31-32).
Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku egois, kacau dan mementingkan diri sendiri (Bouton dalam Aminuddin, 1984).
Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui menolong batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Suatu karakter mestinya harus ditampilkan dalam suatu pertalian yang kuat, sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian tentang personalitas individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut didasarkan suatu motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau setidak-tidaknya dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian (Atar Semi, 1988:37-38).
2. Alur
Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1987:83).
Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum sebab-akibat (Forster, 1971:93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya berasal dari daya imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya belum tentu sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, urutan peristiwa yang demikian tidak lain hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada masalah yang dikerjakan terhadap tujuan dalam karya sastra.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima hal yang perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu : (1) situation, yakni pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, (2) generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut, (3) ricing action, keadaan mulai memuncak, (4) climax, yaiut peristiwa mencapai puncak, dan (5) document, yaitu pengarang telah memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai alur balik (regresif).
Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang disebut alur gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian lagi alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga dijalin dalam kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29).
Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam alur rapat hanya tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh saja, sehingga tidak timbul pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada pengembangan tokoh lain selain tokoh utama, maka terjadilah alur renggang atau terjadi pencabangan cerita.
Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain halnya dengan alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan pembaca, sehingga pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi selanjutnya dan bermaksud apa pengarang menyajikan kejutan seperti itu. Dengan demikian pembaca merasa terbius untuk membacanya sampai tuntas.
Dikatakan alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan yang dianggap tidak penting.
3. Latar
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Lebih lanjut Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68).
Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan pelukisan latar sebagai berikut :
1) Latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.
2) Latar suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita.
3) Latar mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang bermanfaat dan berguna.
Selain menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan waktu, latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221). Penggambaran latar yang tepat akan mampu memberikan suasana tertentu dan membuat cerita lebih hidup. Dengan adanya penggambaran latar tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang dilakukan oleh para tokoh dapat dirasakan oleh pembaca.
4. Sudut Pandang
Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view (Aminuddin, 1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi (1988:51) yang menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view dengan istilah pusat pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri pengarang dalam ceritanya, atau darimana pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita adalah sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang berbeda akan melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan Henshaw, 1966:9).
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan titik kisah menjadi empat jenis yang meliputi : (1) pengarang sebagai tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai orang ketiga, (4) pengarang sebagai pemain dan narrator.
5. Gaya
Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media bahasa yang indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987:72). Hal demikian tercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema dan dalam memandang tema atau persoalan, tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu unsur cerita sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna apabila disampaikan dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra adalah bahasa yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37).
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui dua sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya umumnya dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita agar cerita lebih menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya dengan kemampuan pengarang dalam penulisan cerita dengan penggunaan bahasa, karena cerita pada dasarnya bermediakan bahasa.
5.1 Gaya Bahasa
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu pilihan kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112).
Pengembangan bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena sastra itu sendiri merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia merupakan pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil seorang sastrawan melihat lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya.
Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari batin seorang pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan karakteristik pengarang tersebut.
Sedangkan Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai kenyataan penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat dipisahkan dari cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa. Secara tentatif tetapi praktis gaya bahasa dapat dibatasi pengertian dasarnya sebagai suatu pengaturan kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling mengekspresikan tema, ide, gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang. Secara garis besar gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : (1) gaya bahasa perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan penguatan.
5.2 Gaya Berbicara
Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk menulis cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena pengertian gaya cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan sebagai salah satu metode pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga cerita dapat menarik bagi pembaca.
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang lain daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau waktu sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang menekankan pada tokoh atau penokohannya. Oleh karena cerita bermediakan bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan bentuk cerita yang ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan paragraf, sehingga semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63).
6. Tema
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu Brooks berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa dalam mengapresiasi suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu humanitas, karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal.
Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat yang inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya menyebar pada keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema tersebut ada yang dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan secara simbolik atau tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin (1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut:
1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca
2) Memahami penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
5) Menghubungkan pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
7) Mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya.
8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan.
Selain upaya pemahaman tema seperti di atas, untuk memahami tema, seorang pembaca atau paresiator perlu juga memahami latar belakang kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang merupakan usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya
1. Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan (Panuti Sudjiman, 1988:16).
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu karya sastra yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye dalam Panuti Sudjiman (1966:25).
Penokohan dalam cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis tokoh, kualitas tokoh, bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut jenisnya ada tokoh utama dan tokoh bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh utama ialah tokoh yang aktif pada setiap peristiwa, sedangkan tokoh utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17).
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang berbentuk datar dan tokoh yang berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah tokoh yang tidak memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh yang memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan lingkungan peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar itu pada dasarnya sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk built disebut tokoh psikologis. Dengan demikian tokoh tipologis juga berarti tokoh yang tidak banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau tidak mengalami konflik psikis, karena sudah mempunyai personalitas yang mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah tokoh yang tidak memiliki persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis (Kuntowijaya dalam Pradopo dkk, 11984:91).
Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan cara analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang langsung memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati, keras kepala, penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang dramatik, karakter tokohnya tidak digambarkan secara langsung, melainkan disampaikan melalui; (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog (Atar Semi, 1984:31-32).
Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya, maupun pelaku egois, kacau dan mementingkan diri sendiri (Bouton dalam Aminuddin, 1984).
Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui menolong batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Suatu karakter mestinya harus ditampilkan dalam suatu pertalian yang kuat, sehingga dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian tentang personalitas individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut didasarkan suatu motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau setidak-tidaknya dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian (Atar Semi, 1988:37-38).
2. Alur
Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita (Aminuddin, 1987:83).
Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita, dimana peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum sebab-akibat (Forster, 1971:93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya berasal dari daya imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya belum tentu sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, urutan peristiwa yang demikian tidak lain hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada masalah yang dikerjakan terhadap tujuan dalam karya sastra.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima hal yang perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu : (1) situation, yakni pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, (2) generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut, (3) ricing action, keadaan mulai memuncak, (4) climax, yaiut peristiwa mencapai puncak, dan (5) document, yaitu pengarang telah memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai alur balik (regresif).
Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang disebut alur gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian lagi alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga dijalin dalam kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29).
Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam alur rapat hanya tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh saja, sehingga tidak timbul pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada pengembangan tokoh lain selain tokoh utama, maka terjadilah alur renggang atau terjadi pencabangan cerita.
Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca untuk menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain halnya dengan alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan pembaca, sehingga pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi selanjutnya dan bermaksud apa pengarang menyajikan kejutan seperti itu. Dengan demikian pembaca merasa terbius untuk membacanya sampai tuntas.
Dikatakan alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak ditinggalkan yang dianggap tidak penting.
3. Latar
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis. Lebih lanjut Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68).
Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan pelukisan latar sebagai berikut :
1) Latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.
2) Latar suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita.
3) Latar mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang bermanfaat dan berguna.
Selain menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan waktu, latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita, karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221). Penggambaran latar yang tepat akan mampu memberikan suasana tertentu dan membuat cerita lebih hidup. Dengan adanya penggambaran latar tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang dilakukan oleh para tokoh dapat dirasakan oleh pembaca.
4. Sudut Pandang
Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view (Aminuddin, 1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi (1988:51) yang menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view dengan istilah pusat pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri pengarang dalam ceritanya, atau darimana pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita adalah sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang berbeda akan melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan Henshaw, 1966:9).
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan titik kisah menjadi empat jenis yang meliputi : (1) pengarang sebagai tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai orang ketiga, (4) pengarang sebagai pemain dan narrator.
5. Gaya
Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media bahasa yang indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin, 1987:72). Hal demikian tercermin dalam cara pengarang menyusun dan memilih kata-kata, tema dan dalam memandang tema atau persoalan, tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu unsur cerita sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna apabila disampaikan dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra adalah bahasa yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37).
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui dua sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya umumnya dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita agar cerita lebih menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya dengan kemampuan pengarang dalam penulisan cerita dengan penggunaan bahasa, karena cerita pada dasarnya bermediakan bahasa.
5.1 Gaya Bahasa
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu pilihan kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112).
Pengembangan bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena sastra itu sendiri merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia merupakan pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil seorang sastrawan melihat lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya.
Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari batin seorang pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan karakteristik pengarang tersebut.
Sedangkan Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai kenyataan penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat dipisahkan dari cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam merefleksikan pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran pikiran dan pandangannya yang istimewa. Secara tentatif tetapi praktis gaya bahasa dapat dibatasi pengertian dasarnya sebagai suatu pengaturan kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling mengekspresikan tema, ide, gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang. Secara garis besar gaya bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : (1) gaya bahasa perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan penguatan.
5.2 Gaya Berbicara
Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk menulis cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena pengertian gaya cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan sebagai salah satu metode pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga cerita dapat menarik bagi pembaca.
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang lain daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau waktu sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang menekankan pada tokoh atau penokohannya. Oleh karena cerita bermediakan bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan bentuk cerita yang ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan paragraf, sehingga semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63).
6. Tema
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu Brooks berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa dalam mengapresiasi suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu humanitas, karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta masalah lain yang bersifat universal.
Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam satu alur.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat yang inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya menyebar pada keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema tersebut ada yang dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan secara simbolik atau tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin (1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut:
1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca
2) Memahami penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
5) Menghubungkan pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang lainnya yang disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam suatu cerita.
6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
7) Mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkannya.
8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang dipaparkan.
Selain upaya pemahaman tema seperti di atas, untuk memahami tema, seorang pembaca atau paresiator perlu juga memahami latar belakang kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang merupakan usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah kehidupan yang berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam hubungan antara individu dengan kelompok masyarakatnya
I.5.7 Tips menulis novel
1. Menulislah untuk orang yang
kalian sayang, misalkan orang tua atau pacar atau sahabat kalian. Seperti yang
saya bilang tadi jangan menulis untuk penerbit karena karya yang hebat itu
terlahir dari sebuah niat tulus dari pembuatnya, contohnya Laskar pelangi yang
awal niatnya hanya untuk hadiah gurunya, malah menjadi buming seperti sekarang.
Sebenarnya intinya bukan itu sih, ketika kita membuat karya untuk orang yang
kita sayangi maka kita akan memiliki sebuah power tambahan untuk bisa
menyelesaikan karya novel kita, karena membuat novel itu butuh kesabaran,
komitmen menyelesaikan dan terus berpikir kreatif untuk menemukan ide-ide baru
sehingga novel yang kita buat nantinya bisa baik.
2. Tulislah apa yang ada
dipikiran kalian, jangan memikirkan apakah ide yang muncul di kepala itu bagus
atau tidak. Kalau ada ide langsung tulis, baru kalau sudah selesai cerita yang
kita buat, kita lakukan revisi dan pengeditan.
3. Tetap komitmen untuk
menyelesaikan novel kita. Jujur pengalaman saya membuat novel pendek sepanjang
130 halaman butuh waktu empat bulan dan pada bulan pertama novel yang saya buat
terhapus dari laptop dan parahnya lagi data filenya tidak bisa direcovery
akhirnya buat lagi dari awal. Karena saat itu saya membuat novel itu untuk
hadiah cewek yang saya suka jadi mau gak mau harus diselesaikan. Singkat cerita
novel itu jadi.
2.Unsur Ekstinsik
Unsur ini meliputi latar belakang penciptaan,
sejarah, biografi pengarang, dan lain – lain, di luar unsur intrinsic. Unsur –
unsur yang ada di luar tubuh karya sastra. Perhatian terhadap unsur – unsur ini
akan membantu keakuratan penafsiran isi suatu karya sastra (Drs. Rustamaji,
M,Pd, Agus Priantoro, S.Pd).
Nilai-nilai yang terkandung dalam novel sastra.
1.Nilai Sosial
2. Nilai Ethik
3. Nilai Hedorik
4. Nilai Koleksi
5. Nilai Kultural
6. Nilai Spirit
Unsur-unsur Ekstrinsik Novel |
Unsur-unsur ekstrinsik novel adalah unsur dari luar novel tersebut. Adapun
beberapa unsur Ekstrinsik Novel yaitu
Sejarah/Biografi Pengarang biasanya
sejarah/biografi pengarang berpengaruh pada jalan cerita di novelnya
Situasi dan Kondisi secara
langsung maupun tidak langsung, situasi dan kondisi akan berpengaruh kepada
hasil karya
Nilai-nilai dalam cerita Dalam
sebuah karya sastra
terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh
pengarang. Nilai-nilai itu antara lain :
terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh
pengarang. Nilai-nilai itu antara lain :
Nilai Moral, yaitu nilai yang
berkaitan dengan ahklak atau budi
pekerti baik buruk
berkaitan dengan ahklak atau budi
pekerti baik buruk
Nilai Sosial, yaitu hal-hal yang
berkaitan dengan norma –norma
dalam kehidupan masyarakat
( misalnya, saling memberi, menolong,
dan tenggang rasa )
berkaitan dengan norma –norma
dalam kehidupan masyarakat
( misalnya, saling memberi, menolong,
dan tenggang rasa )
Nilai Budaya, yaitu konsep
masalah dasar yang sangat penting
dan bernilai dalam kehidupan manusia
( misalnya adat istiadat ,kesenian,
kepercayaan, upacara adat )
masalah dasar yang sangat penting
dan bernilai dalam kehidupan manusia
( misalnya adat istiadat ,kesenian,
kepercayaan, upacara adat )
Nilai Estetika , yaitu nilai yang
berkaitan dengan seni, keindahan
dalam karya sastra ( tentang
bahasa, alur, tema )
berkaitan dengan seni, keindahan
dalam karya sastra ( tentang
bahasa, alur, tema )
Tidak ada komentar untuk "MATERI BAHASA INDONESIA TENTANG NOVEL"
Posting Komentar